Dr Indrawan Nugroho Innovation Consultant, Serial Entrepreneur, Content Creator.

Netflix di Titik Nadir. Strategi Perang Babi Buta di Tapal Batas

7 min read

Netflix, sang raksasa layanan video streaming itu baru saja memecat 150 karyawannya. Kehilangan 200 ribu pelanggan di kuartal pertama tahun ini dan diprediksi akan kehilangan 2 juta pelanggan lagi di kuartal berikutnya.

Saham Netflix juga drop 70% dibandingkan 6 bulan lalu. 

Apa yang terjadi? Apakah ini akhir dari Netflix? Apa penyebabnya dan apa strategi Netflix untuk melawan arus kehancurannya itu?

Yuk, kita simak jawabannya di uraian berikut ini!

Kita akan mulai dengan menyelami awal terciptanya Netflix. Kemudian, menelusuri jalan panjang berliku Netflix, untuk menuju puncak keberhasilan. Setelah itu, kita akan buka-bukaan tentang apa yang terjadi, sehingga Netflix bisa jatuh seperti sekarang.

Dilanjutkan dengan mengupas langkah strategis Netflix untuk menangkal kehancurannya. Di akhir, seperti biasa kita akan ulas pelajaran penting yang bisa kita ambil. 

BAGIAN 1: Awal Mula Netflix

Pendiri Netflix, Marc Randolph dan Reed Hastings terinspirasi oleh kesuksesan perusahaan e-commerce Amazon.com. Ketika video berformat DVD diluncurkan di Amerika pada tahun 1997, keduanya punya ide untuk memulai bisnis penyewaan DVD berbasis situs web seperti Amazon.

Ukuran DVD yang compact, tipis, dan ringan, memungkinkannya untuk dikirim melalui pos. Maka di tahun 1998, Netflix.com meluncur. Pelanggan dapat memilih koleksi DVD dan menyewanya melalui website tersebut. Kemudian, DVD yang disewa akan dikirim melalui pos langsung ke rumah si pelanggan. 

Pada awalnya, peluncuran Netflix hanya memiliki 926 judul DVD. Layanan yang diberikan merupakan penyewaan DVD selama 7 hari dengan biaya USD4 ditambah biaya pengiriman USD2. 

Netflix.com memiliki fitur unggulan yang menjadi ciri khasnya, sekaligus revolusioner di masanya, yaitu smart suggestion algorithm. Dimana, setelah pelanggan menyewa film beberapa kali, maka Netflix dapat memberikan rekomendasi film baru secara otomatis yang sesuai dengan selera si pelanggan. 

Hanya dalam waktu 48 jam sejak go online, Netflix harus meningkatkan bandwidth dari situs webnya, dikarenakan traffic yang padat dari para konsumen. 

Pada tahun 1999, Netflix berhasil mendapatkan suntikan modal senilai USD 30 juta dari Group Arnault yang memungkinkan Netflix untuk meluncurkan inovasi terbarunya bernama Marquee Program. 

Program ini memungkinkan para pelanggan Netflix untuk menyewa DVD sebanyak yang mereka inginkan selama 1 bulan hanya dengan membayar USD16. Tanpa biaya keterlambatan, tanpa tanggal jatuh tempo. Program ini terinspirasi pengalaman buruk Reed Hastings ketika dia harus membayar biaya denda sebesar USD 40 gara-gara terlambat mengembalikan video. 

 Netflix pun semakin populer. Setiap hari, Netflix menerima 10.000 pesanan DVD dengan pendapatan hampir mencapai USD 5 juta. 

BAGIAN 2: Perjuangan Netflix

Walaupun jumlah pelanggan terus bertumbuh, Netflix masih terus merugi. Karena itu, maka di tahun 2000 para founders sempat menawarkan Blockbuster untuk membeli Netflix dengan harga USD 50 juta. 

Blockbuster saat itu merupakan perusahaan penyewaan kaset video yang terbesar dan tertua yang memiliki 60.000 pegawai dengan 8.000 cabang tersebar di seluruh Amerika. Blockbuster menolak tawaran Netflix mentah-mentah dan memilih untuk bekerjasama dengan Enron Broadband untuk meluncurkan jasa streaming video melalui internet yang ternyata gagal total.

Di akhir tahun 2001, pemutar DVD yang harganya semakin murah menjadi hadiah akhir tahun yang sangat populer. Maka, permintaan untuk layanan berlangganan DVD pun meningkat luar biasa. Dalam rangka membiayai rencana pengembangannya, Netflix melakukan aksi go public pada 29 Mei 2002. Menjual 5,5 juta lembar saham, dengan harga USD 15/lembarnya. 

Setahun kemudian, Netflix berhasil mencapai 1 juta subscribers sekaligus meraih keuntungan pertamanya. Kesuksesan Netflix, tentu saja mengundang pemain besar untuk masuk ke dalam bisnis penyewaan DVD, diantaranya adalah Blockbuster dan Walmart. Walaupun demikian, dengan fundamental yang sudah kuat, Netflix bukan hanya mampu bertahan tapi juga mampu mengungguli mereka. 

Di tahun 2005, Netflix berhasil mengirim 1 juta film setiap harinya dari koleksi total sebanyak 35.000 judul film, dan merayakan pengiriman keping DVD yang ke 1 miliar di tahun 2007. Walmart akhirnya mundur, dari bisnis penyewaan DVD di tahun 2005, dan Blockbuster mengumumkan kebangkrutannya di tahun 2010. 

BAGIAN 3: Gairah Inovasi Netflix

 Netflix tidak berhenti berinovasi, ia terus mengeksplorasi ruang dan peluang pengembangan bisnisnya. Hastings melihat teknologi video streaming yang tengah berkembang pada saat itu akan menjadi masa depan industri hiburan rumah. 

Maka di tahun 2004, Netflix melakukan eksperimentasi bisnis video streaming bekerjasama untuk menyediakan hardware stereo fox, sementara Netflix menyediakan konten film-film unggulan. Eksperimentasi pertama ini ternyata gagal. Netflix kesulitan mendapatkan lisensi dari Hollywood dan stompbox yang dibuat pun tidak sesuai dengan ekspektasi. 

Tahun 2007, layanan internet kecepatan tinggi tersedia secara luas di masyarakat. Netflix pun memutuskan untuk menyeriusi bisnis online streaming dengan meluncurkan layanan watch now yang ternyata pada saat itu mengecewakan. Karena hanya memiliki 5.000 judul film jauh dibandingkan koleksi DVD Netflix yang jumlahnya mencapai 85.000 judul pada saat itu. 

Memang sih, watch now itu pada saat itu ya didudukkan hanya sebagai pelengkap dari layanan penyewaan DVD dari Netflix

Tahun 2008, Netflix mulai berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar produsen dan distributor film terkenal seperti Disney, Sony, Paramount MGM, dan Lionsgate. Di sisi saluran distribusi, Netflix juga bekerjasama dengan berbagai sistem hiburan yang populer seperti PlayStation, Xbox, Nintendo, Apple. Hasilnya, semakin banyak orang yang tertarik untuk berlangganan Netflix

Maka di tahun 2010, jumlah video yang di streamingkan ternyata sudah melampaui jumlah DVD yang disewakan. Dari situ kemudian Netflix memutuskan untuk fokus pada layanan video streaming. Kemudian, perlahan tapi pasti layanan penyewaan DVD Netflix akan diakhiri. 

Transisi Netflix dari penyewaan DVD menuju video streaming ini tidak mendapatkan respon yang baik dari pelanggannya. Netflix saat itu kehilangan 800.000 subscribers dan saham Netflix drop 75%. Perlu 2 tahun untuk Netflix bisa kembali ke posisi awal.

Pada saat itu, Netflix bukan pemain tunggal di bisnis video streaming. Pesaingnya Hulu dan Amazon video sudah mulai mendapatkan traction di pasar. Maka, melihat hal itu Netflix kembali berinovasi dengan memproduksi serial originalnya sendiri dan tidak seperti serial lain yang dirilis mingguan, Netflix memutuskan untuk merilis semua episodenya secara bersamaan. Strategi itu juga merupakan upaya Netflix untuk mengakali biaya lisensi konten streaming film yang terus meningkat. 

Di tahun 2013, serial House of Cards, dirilis dan mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari pasar. Kemudian muncul lagi serial The Crowns, Stranger Things, Orange is the new Black, dan masih banyak lagi yang terbukti mampu mendatangkan banyak sekali pelanggan baru untuk Netflix

Di tahun 2015. layanan Netflix sudah bisa dinikmati di 50 negara. Kemudian, pandemi Covid19 dimulai pada akhir 2019. Hampir semua kota di dunia menerapkan kebijakan lockdown. Kantor tutup, pusat hiburan tutup, dan masyarakat tidak bisa pergi ke mana-mana, mereka stuck di rumah dan mencari hiburan dengan menonton TV. Saat itulah Netflix diuntungkan. Jumlah orang yang berlangganan meningkat secara drastis. Pundi-pundi uang pesan pun terdongkrak naik. Pada puncaknya, nilai kapitalisasi pasar Netflix mencapai USD 360 miliar atau setara Rp 4.454 triliun. 

BAGIAN 4: Kejatuhan Netflix

Sayangnya, kejayaan Netflix itu tidak bertahan lama. Di bulan April 2022 ini USD mengumumkan bahwa perusahaan video streaming itu telah kehilangan 200.000 pelanggan di Kuartal 1 tahun ini dan diprediksi akan kehilangan 2 juta pelanggan lagi di Kuartal kedua. 

Investor pun merespon dengan menjual saham Netflix secara massal mengakibatkan jatuhnya nilai saham USD sebesar 40% hanya dalam dua hari saja. Bill Ackman, salah satu investor kakap Netflix mengatakan, 

“Kami kehilangan kepercayaan pada kemampuan kami untuk memprediksi prospek masa depan Netflix dengan tingkat kepastian yang memadai.” 

Netflix langsung kehilangan market caps senilai USD 54 miliar dalam satu hari. Apa yang menyebabkan kejatuhan dramatic dari Netflix ini? 

  • Pertama, munculnya pesaing kelas kakap yang mencuri pelanggan Netflix. Jika sebelumnya Netflix hanya bersaing dengan sesama startup video streaming, dalam lima tahun terakhir Netflix harus bersaing dengan raksasa konten dunia yang ikut masuk ke industri video streaming. 

Sebutlah HBO dengan HBO Max-nya, Paramount dengan Paramount+, Disney dengan Disney+, NBC dengan Peacock, Amazon dengan Amazon Prime, Apple dengan Apple TV.

Netflix juga mulai kehilangan lisensi atas film dan serial populer karena para raksasa media tadi yang memiliki hak paten atas konten-konten tersebut menarik konten itu dari Netflix untuk dirilis di platform mereka. 

Mereka juga memproduksi banyak film atau serial original layaknya Netflix. Maka dalam waktu singkat apa yang dulunya menjadi keunggulan Netflix yaitu jumlah dan varian konten serta film dan serial originalnya, tidak lagi menjadi keunggulan kompetitif. 

  • Kedua, para pemain baru kelas kakap itu juga sangat agresif dalam menetapkan harga jualnya. Biaya langganan FTV hanya USD 5 per bulannya sama seperti Peacock, HBOMax USD 15, Disney+ USD 12. Sementara biaya berlangganan Netflix terus naik dari USD 16 yang sudah lebih mahal dari pesaingnya itu kini bahkan mencapai hampir USD 20 per bulannya untuk Tiar yang paling tinggi.

Hal ini semakin menjadi pemicu dikarenakan meningkatnya inflasi dan suku bunga acuan. Harga-harga kebutuhan pokok masyarakat meningkat masyarakat tidak ada pilihan selain mengurangi pengeluaran. Netflix diduga menjadi pilihan yang pertama, bisa jadi mereka sepenuhnya berhenti langganan layanan video streaming atau bisa jadi mereka beralih ke alternatif lain yang lebih murah. 

  • Ketiga, manajemen Netflix menyalahkan perilaku berbagi password dari pelanggannya sebagai salah satu penyebab. Saat ini ada 100 juta pelanggan yang melakukan password sharing, 30 juta diantaranya berasal dari Amerika dan Kanada. Perilaku ini jelas merugikan Netflix

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah perilaku ini ada sejak dulu dan Netflix tahu tentang hal itu, kenapa baru sekarang diangkat isunya?

Jawaban resmi Hastings adalah kalau dulu kan kita terlalu sibuk dengan pertumbuhan jadi hal itu belum terlalu jadi masalah.

  • Keempat, Netflix memutuskan untuk menghentikan layanan streaming nya di Rusia sebagai bentuk dukungan untuk Ukraina. Keputusan itu langsung berdampak pada Netflix kehilangan 700.000 pelanggannya. Sekali lagi saya itu cuma alasan aja sih karena akan yang 200.000 itu kan berhenti berlangganan bukan dihentikan layanannya seperti yang terjadi di Rusia. Jadi, tidak nyambung. 
  • Kelima, ini menurut saya lebih masuk akal ya adalah karena diangkatnya kebijakan lockdown dan batasan-batasan sosial. Hal itu membuat masyarakat lebih senang berada di luar rumah untuk melakukan aktivitas yang selama dua tahun sebelumnya mereka tidak bisa lakukan. Jadi untuk apa masih berlangganan Netflix, karena tidak ada waktu juga untuk nonton.

BAGIAN 5: Masa Depan Netflix

Dalam kondisi seperti itu, apa yang akan dilakukan Netflix? 

Pengurangan jumlah tenaga kerja yang hanya mewakili dua persen dari total karyawan itu jelas tidak akan terlalu berpengaruh. Netflix perlu strategi yang lebih berdampak besar, salah satu rencana Netflix kedepan adalah menawarkan paket khusus dengan harga miring bagi anggota keluarga atau teman yang ingin menikmati layanan Netflix.

Nah, strategi ini dilakukan untuk mengurangi perilaku berbagai password dari pelanggannya. Banyak pihak yang meragukan pendekatan ini, tapi kita lihat saja nanti hasilnya seperti apa. 

Rencana yang lain yang dimiliki Netflix adalah meluncurkan paket harga murah yang lebih disupport oleh iklan. Ide ini sesungguhnya bertentangan dengan semangat Netflix selama ini yang anti iklan. Reed Hastings juga tidak suka dengan pilihan ini. 

Menurutnya model bisnis video streaming berbasis iklan itu rumit. Dia lebih suka kesederhanaan bisnis modern berlangganan yang dimiliki Netflix pada saat ini. Namun, terlepas dari suka atau tidak suka, banyak pihak yang menilai paket ini bisa jadi solusi untuk situasi Netflix pada saat ini.

Netflix tetap bisa mempertahankan pelanggannya dan minimnya harga berlangganan bisa ditutupi dengan pemasukan dari iklan.

Menurut saya, apapun yang dilakukan Netflix sulit baginya untuk bisa kembali pada masa puncak kejayaannya. Apa yang terjadi saat ini pada Netflix adalah proses koreksi alamiah. 

Bisnis model bakar uang untuk mendorong pertumbuhan akan selalu menemukan titik jenuhnya, puncak tertingginya, sebelum kemudian terkoreksi untuk masuk pada tingkat kinerja wajarnya. 

Jika uang dari investor tidak terbatas, tapi uang masyarakat kan terbatas. Selain itu, setiap lautan biru pasti nanti akhirnya akan menjadi merah juga. Dinamika pasokan dan permintaan akan selalu menemukan titik ekuilibrium-nya. 

Saya tidak khawatir dengan Netflix. Netflix akan dapat terus bertahan bahkan bisa jadi lebih baik dimasa yang akan datang. Karena ini bukan kali pertama Netflix mengalami goncangan. 

Seperti yang saya sudah cetakan sebelumnya 10 tahun yang lalu, Netflix mengalami situasi yang serupa bahkan lebih parah lagi. Transisi Netflix dari bisnis penyewaan DVD menjadi layanan video streaming, membuatnya kehilangan 800.000 pelanggan pada saat itu dan sahamnya pun jatuh 75%. 

Apa yang tengah terjadi pada Netflix saat ini, masih jauh lebih ringan. 

Nah, pertanyaannya sekarang adalah Netflix akan bertransisi menjadi bisnis yang seperti apa? 

Jawaban dari pertanyaan itu dan bagaimana hasilnya nanti akan jadi case study yang sangat menarik untuk dikaji di tahun-tahun mendatang.

BAGIAN 6: Tiga Pelajaran Penting

Ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil. 

Pertama, Netflix melihat peluang dan tidak takut untuk menangkapnya

Di masa ketika semua bisnis hiburan rumah menyewakan kaset video, Netflix melihat peluang penyewaan DVD yang dikirim melalui pos. Lalu ketika bisnis penyewaan dipilihnya mulai bertumbuh, Netflix melakukan pivot untuk menangkap peluang bisnis video streaming yang sedang terbuka. 

Semua putusan itu beresiko pasti karena belum terbukti. Namun jika Netflix tidak mengambil peluang itu, maka kita tidak akan mengenal Netflix seperti sekarang. 

Kedua, Netflix tidak pernah berhenti berinovasi.

Menangkap peluang itu baru langkah pertama. Maka selanjutnya adalah mencari cara-cara baru untuk memberikan lompatan nilai bagi pelanggannya, untuk menguji pasar dengan produk Anda. 

Melalui algoritma rekomendasi sederhana di websitenya hingga memproduksi film dan serial original yang semua episodenya dirilis bersamaan, Netflix pun memimpin pasar.

Ketiga, ketika bisnis digoyang maka menarilah. 

Selama 20 tahun bisnis Netflix sudah beberapa kali digoyang. Kesuksesan akan selalu menghasilkan persaingan. Seberapapun hebatnya Anda, akan selalu ada pemain lain yang lebih hebat. Seberapa pun kokohnya bisnis Anda, akan selalu ada kondisi yang tak terduga yang mampu menggoyang bahkan pondasi terkuat Anda. 

Maka, jadilah lincah, “be agile.”

Menarilah mengikuti irama situasi. Jangan statis, jangan menunggu, bergerak tapi salah itu lebih baik daripada diam menunggu. Karena dari salah, kita bisa menemukan mana yang benar. Sementara menunggu, hanya sekedar menunda kematian. 

Dr Indrawan Nugroho Innovation Consultant, Serial Entrepreneur, Content Creator.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *